Epilepsi
didefinisikan sebagai suatu keadaan yang ditandai oleh bangkitan epilepsi
berulang berselang lebih dari 24 jam yang timbul tanpa provokasi. Sedangkan
yang dimaksud dengan bangkitan epilepsi adalah manifestasi klinik yang disebabkan oleh aktivitas listrik otak yang
abnormal dan berlebihan dari sekelompok neuron. Manifestasi klinik ini terjadi
secara tiba-tiba dan sementara berupa perubahan perilaku yang stereotipik,
dapat menimbulkan gangguan kesadaran, gangguan motorik, sensorik, otonom,
ataupun psikik. 2
Status Epileptikus (SE) didefinisikan sebagai keadaan dimana terjadinya
dua atau lebih rangkaian kejang tanpa adanya pemulihan kesadaran diantara
kejang, atau serangan yang berlangsung terus menerus selama 30 menit atau
lebih. Serangan yang berlangsung terus menerus lebih dari 5 menit atau yang
kesadarannya belum pulih setelah 5 menit harus dipertimbangkan sebagai SE.2
Sindrom epilepsi merupakan kumpulan gejala dan tanda
klinik yang unik untuk suatu epilepsi, mencakup lebih dari sekedar tipe
bangkitan tetapi juga mencakup etiologi, anatomi, faktor presipitasi, usia
awitan, berat kronisitas, siklus diurnal dan sirkadian bahkan kadang-kadang
sampai prognosis.Konvulsi adalah gerak otot klonik atau tonik yang involuntar.
Konvulsi dapat timbul karena anoksia serebri, intoksikasi serebri histeria atau
berbagai manifestasi epilepsi.2
Klasifikasi
Pada
tahun 1981, International League Against Epilepsy (ILAE) telah
mengemukan klasifikasi mengenai epilepsi yang berdasarkan observasi secara
klinikal dan EEG. Pada tahun 1989, ILAE mengemukan pula klasifikasi untuk
epilepsi dan bangkitan epilepsi. Klasifikasi sindroma
epilepsi berdasarkan faktor-faktor tipe bangkitan (umum atau terlokalisasi),
etiologi (simtomatik atau idiopatik), usia, dan situasi yang berhubungan dengan
bangkitan.1,2
- Klasifikasi berdasarkan tipe bangkitan epilepsi :
Bangkitan parsial diklasifikasikan menjadi 3 yakni:
- Parsial Sederhana (kesadaran tetap baik)
- Dengan gejala motorik
- Dengan gejala somatosensorik atau sensorik khusus
- Dengan gejala autonom
- Dengan gejala psikis
- Parsial Kompleks (kesadaran menurun)
- Berasal sebagai parsial sederhana dan berekambang menjadi penurunan kesadaran
- Dengan penurunan kesadaran sejak awaitan
- Parsial yang menjadi umum sekunder
- Parsial sederhana yang menajdi umum tonik-konik
- Parsial kompleks menjadi umum tonik-klonik
- Parsial sederhana menjadi parsial kompleks dan menjadi umum tonik-konik
Bangkitan Umum
Bangkitan
umum dibagi menjadi:
- Absence / lena / petit mal
- Klonik
- Tonik
- Tonik-klonik /Grand mal
- Mioklonik
- Atonik
Tidak Tergolongkan
- Klasifikasi ILAE 1989 untuk epilepsi dan sindroma epilepsi
Berkaitan dengan lokasi kelainan (localized
related)
- Idiopatik (primer)
- Benign childhood epilepsy with centrotemporal spikes
- Childhood epilepsy with occipital paroxysm
- Primary reading epilepsy
- Simtomatik (sekunder)
- Epilepsi parsial kontinua yang kronik pada anak-anak (Kojenikow’s Syndrome)
- Sindrom dengan bangkitan yang dipresipitasi oleh suatu rangsangan (kurang tidur, alkohol, obat-obatan, hiperventilasi, epilepsi refleks, stimulasi fungsi kortikal tinggi, membaca)
- Epilepsi lobus temporal : Onset pada usia kanak-kanak, kejang hilang selama bebearap tahun dan kembali muncul saat remaja, disertai dengan riwayat kejang demam, merupakan bangkitan parsial sederhana atau kompleks dengan atau tanpa generalisasi sekunder, disertai dengan aura (nyeri epigastrik, rasa takut deja vu, fenomena visual; disertai dengan automatisme (gerakan berulang), resisten terhadap OAE.
- Epilepsi lobus frontal : Bangkitan parsial sederhana atau kompleks dengan atau tanpa generalisasi sekunder, aura nonspesifik, ada gangguan vokalisasi atau bicara, dapat timbul deviasi mata, EEG biasanya normal.
- Epilepsi lobus parietal : Bangkitan parsial sederhana, motor atau sensori, dengan atau tanpa generalisasi sekunder, disertai dengan parestesia, lokasi pada wajah, lengan dan tangan; disertai halusinasi dan gangguan berbahasa
- Epilepsi lobus oksipital
- Kriptogenik
Epilepsi umum dan berbagai sindroma epilepsi
berurutan sesuai dengan
peningkatan usia
- Idiopatik : Benign neonatal familial convulsions; Benign neonatal convulsions; Benign myoclonic epilepsy in infancy; Childhood absence epilepsy; Juvenile absence epilepsy; Juvenile myoclonic epilepsy (impulsive petit mal); Epilepsy with grand mal seizures upon awakening; dan Other generalized idiopathic epilepsies
- Kriptogenik atau simtomatik berurutan sesuai dengan peningkatan usia. : West’s syndrome (infantile spasms); Lennox gastaut syndrome; Epilepsy with myoclonic astatic seizures; dan Epilepsy with myoclonic absences
- Simtomatik
- Etiologi non spesifik
- Ensefalopati mioklonik dini
- Ensefalopati pada infantile dini dengan burst suppression
- Epilepsi simtomatik umum lainnya yang tidak termasuk di atas
- Sindrom spesifik
- Bangkitan epilepsi sebagai komplikasi penyakit lain
- Bangkitan umum dan fokal
- bangkitan neonatal
- epilepsi mioklonik berat pada bayi
- epilepsi dengan gelombang paku kontinyu selama tidur dalam
- epilepsi afasia yang didapat (Sindrom Landau-Kleffner)
- epilepsi yang tidak terklasifikasikan selain yang di atas
- Tanpa gambaran tegas fokal atau umum
- Kejang demam
- Bangkitan kejang/status epileptikus yang timbul hanya sekali (isolated)
- Bangkitan yang hanya terjadi bila terdapat kejadian metabolic akut, atau toksik, alcohol, obat-obatan, eklamsia, hiperglikemi non ketotik
- Bangkitan berkaitan dengan pencetus spesifik (epilepsi reflektorik)
Epidemiologi
Epilepsi dijumpai pada
semua ras di dunia dengan insidensi dan prevalensi yang hampir sama, walaupun
beberapa peneliti menemukan angka yang lebih tinggi di negara berkembang.
Penderita laki-laki lebih banyak daripada penderita wanita, dan lebih sering
dijumpai pada anak pertama.
Awitan dapat dimulai pada semua umur tetapi
terdapat perbedaan yang mencolok pada kelompok umur tertentu sekitar 30-32,9%
penderita mendapat sawan pertama pada usia kurang dari 4 tahun, 50-51,5%
terdapat pada kelompok kurang dari 10 tahun dan mencapai 75-83,4% pada usia
kurang dari 20 tahun, 15% penderita pada usia lebih dari 25 tahun dan kurang
dari 2% pada usia lebih dari 50 tahun.Hingga 1% dari populasi umum
menderita epilepsi aktif, dengan 20-50 pasien baru per tahun. Perkiraan angka
kematian pertahun akibat epilepsi adalah 2 per 100.000. 3,4,5
Status epileptikus merupakan suatu masalah yang umum terjadi dengan angka
kejadian kira-kira 60.000 – 160.000 kasus dari status epileptikus tonik-klonik
umum yang terjadi di Amerika Serikat setiap tahunnya. Pada sepertiga
kasus, status epileptikus merupakan gejala yang timbul pada pasien yang
mengalami epilepsi berulang. Sepertiga kasus terjadi pada pasien yang
didiagnosa epilepsi, biasanya karena ketidakteraturan dalam memakan obat
antikonvulsan. Mortalitas yang berhubungan dengan aktivitas kejang sekitar 1-2
persen, tetapi mortalitas yang berhubungan dengan penyakit yang menyebabkan
status epileptikus kira-kira 10 persen. Pada kejadian tahunan menunjukkan suatu
distribusi bimodal dengan puncak pada neonatus, anak-anak dan usia tua.
Dari data epidemiologi menunjukkan bahwa etiologi dari
Status Epileptikus dapat dikategorikan pada proses akut dan kronik. Pada usia
tua Status Epileptikus kebanyakan sekunder karena adanya penyakit
serebrovaskuler, disfungsi jantung, dementia. Pada Negara miskin, epilepsy
merupakan kejadian yang tak tertangani dan merupakan angka kejadian yang paling
tinggi. 3,6
Etiologi
Etiologi epilepsi dapat dibagi ke dalam tiga kategori, yaitu:2
- Idiopatik
- Tidak terdapat lesi struktural di otak atau defisit neurologik. Diperkirakan mempunyai predisposisi genetik dan umumnya berhubungan dengan usia.
- Kriptogenik
- Dianggap simptomatik tetapi penyebabnya belum diketahui. Termasuk disini adalah sindrom West, sindrom Lennox-Gastaut dan epilepsi mioklonik. Gambaran klinik sesuai dengan ensefalopati difus
- Simtomatik
- Bangkitan epilepsi disebabkan oleh kelainan/ lesi struktural pada otak misalnya cedera kepala, infeksi SSP, kelainan kongenital, lesi desak ruang, gangguan peredaran darah otak, toksik, metabolik, kelainan neurodegeneratif.
Patofisiologi
Dasar serangan epilepsi ialah gangguan fungsi neuron-neuron otak dan transmisi
pada sinaps. Tiap sel hidup, termasuk neuron-neuron otak mempunyai kegiatan
listrik yang disebabkan oleh adanya potensial membran sel. Potensial membran
neuron bergantung pada permeabilitas selektif membrane neuron, yakni membrane
sel mudah dilalui oleh ion K dari ruang ekstraseluler ke intraseluler dan
kurang sekali oleh ion Ca, Na dan Cl, sehingga di dalam sel terdapat kosentrasi
tinggi ion K dan kosentrasi rendah ion Ca, Na, dan Cl, sedangkan keadaan
sebaliknya terdapat diruang ekstraseluler. Perbedaan konsentrasi ion-ion inilah
yang menimbulkan potensial membran.
Ujung terminal neuron-neuron berhubungan dengan dendrite-dendrit dan badan-badan
neuron yang lain, membentuk sinaps dan merubah polarisasi membran neuron
berikutnya. Ada dua jenis neurotransmitter, yakni neurotransmitter eksitasi
yang memudahkan depolarisasi atau lepas muatan listrik dan neurotransmitter
inhibisi yang menimbulkan hiperpolarisasi sehingga sel neuron lebih stabil dan
tidak mudah melepaskan listrik.
Diantara neurotransmitter-neurotransmitter eksitasi dapat disebut glutamate,aspartat
dan asetilkolin sedangkan neurotransmitter inhibisi yang terkenal ialah /gamma
amino butyric acid /(GABA) dan glisin. Jika hasil pengaruh kedua jenis lepas
muatan listrik dan terjadi transmisi impuls atau rangsang. Hal ini misalnya
terjadi dalam keadaan fisiologik apabila potensial aksi tiba di neuron. Dalam
keadaan istirahat, membran neuron mempunyai potensial listrik tertentu dan
berada dalam keadaan polarisasi. Aksi potensial akan mencetuskan depolarisasi
membrane neuron dan seluruh sel akan melepas muatan listrik.
Dari sudut pandang biologi molekuler, bangkitan epilepsi disebabkan
oleh ketidakseimbangan sekresi maupun
fungsi neurotransmiter eksitatorik dan inhibitorik di otak. Keadaan ini bisa
disebabkan sekresi neurotransmiter dari presinaptik tidak terkontrol ke
sinaptik yang selanjutnya berperan pada reseptor NMDA atau AMPA di
post-sinaptik. Keterlibatan reseptor NMDA subtipe dari reseptor glutamat
(NMDAR) disebut-sebut sebagai patologi terjadinya kejang dan epilepsi. Secara
farmakologik, inhibisi terhadap NMDAR ini merupan prinsip kerja dari obat
antiepilepsi. Beberapa penelitian neurogenetik membuktikan adanya beberapa
faktor yang bertanggungjawab atas bangkitan epilepsi antara lain kelainan pada ligand-gate
(sub unit dari reseptor nikotinik) begitu juga halnya dengan voltage-gate
(kanal natrium dan kalium). Hal ini terbukti pada epilepsi lobus frontalis
yang ternyata ada hubungannya dengan terjadinya mutasi dari resepot nikotinik
subunit alfa 4.
Berbicara mengenai kanal ion maka peran natrium, kalium dan kalsium
merupakan ion-ion yang berperan dalam sistem komunikasi neuron lewat reseptor.
Masuk dan keluarnya ion-ion ini menghasilkan bangkitan listrik yang dibutuhkan
dalam komunikasi sesama neuron. Oleh
berbagai faktor, diantaranya keadaan patologik, dapat merubah atau mengganggu
fungsi membran neuron sehingga membran mudah dilampaui oleh ion Ca dan Na dari
ruangan ekstra ke intra seluler. Influks Ca akan mencetuskan letupan
depolarisasi membran dan lepas muatan listrik berlebihan, tidak teratur dan
terkendali. Lepas muatan listrik demikian oleh sejumlah besar neuron secara sinkron
merupakan dasar suatu serangan epilepsi. Suatu sifat khas serangan epilepsi
ialah bahwa beberapa saat serangan berhenti akibat pengaruh proses inhibisi. Di
duga inhibisi ini adalah pengaruh neuron-neuron sekitar sarang epileptik.
Selain itu juga sistem-sistem inhibisi pra dan pasca sinaptik yang menjamin
agar neuron-neuron tidak terus-menerus berlepasmuatan memegang peranan. Keadaan
lain yang dapat menyebabkan suatu serangan epilepsi terhenti ialah kelelahan
neuron-neuron akibat habisnya zat-zat yang penting untuk fungsi otak.1,7-9
Manifestasi Klinis
Epileptic seizure adalah suatu
kejadian klinis, sehingga tanda dan gejala yang ada harus ada pada definisinya.
Bentuk seizure yang muncul sangat
tergantung pada lokasi onset di otak, pola propagasinya, maturitas otak ,
proses penyakit otak yang ada, siklus bangun-tidur, medikasi dan berbagai
faktor lain. Seizure dapat
mempengaruhi fungsi sensoris, motoris, auditoris, kognisi, atau tingkah laku.
Manifestasi sensoris dapat berupa
somatosensoris, auditoris, visual, olfaktoris, gustatoris, vestibuler dan juga
sensasi internal yang lebih kompleks yang berupa distorsi persepsi kompleks.
Pada definisi terdahulu, hal ini disebut psychic seizure.
Menurut ILAE Glossary
of Descriptive Terminology for Ictal Semiology (Blume 2001) defisit kognisi
saat seizure dapat berupa problema
persepsi, atensi, emosi, memori, eksekusi, praxis atau bicara. Distorsi memori
dapat bersifat negative seperti gangguan formasi dan retrieval memori dan dapat
pula bersifat positif seperti deja vu
dan forced memory lain selama seizure. Pada definisi terdahulu ini
disebut psychic seizure juga. Status
emosi harus dipertimbangkan juga pada definisi oleh karena manifestasi seizure dapat berupa rasa takut,
rasa puas, cemas, gembira, sedih dan sensasi subyektif lain yang tidak dapat
diterangkan dengan sensasi primer.1,3-5- Grand mal (kejang tonik-klonik)
- Grand mal (meliputi 75% kasus epilepsi) meliputi tipe primer dan sekunder Epilesi grand mal ditandai dengan hilang kesadaran dan bangkitan tonik-tonik. Manifestasi klinik kedua golongan epilepsi grand mal tersebut sama, perbedaan terletak pada ada tidaknya aura yaitu gejala pendahulu atau preiktal sebelum serangan kejang-kejang.Pada epilepsi grand mal simtomatik selalu didahului aura yang memberi manifestasi sesuai dengan letak focus epileptogen pada permukaan otak. Aura dapat berupa perasaan tidak enak, melihat sesuatu, mencium bau-bauan tak enak, mendengar suara gemuruh, mengecap sesuatu, sakit kepala dan sebagainya.Bangkitan di mulai dengan kehilangan kesadaran sehingga aktivitas penderita terhenti. Kemudian penderita mengalami kejang tonik yaitu otot-otot berkontraksi sangat hebat, penderita terjatuh, lengan fleksi dan tungkai ekstensi. Udara paru-paru terdorong keluar dengan deras sehingga terdengar jeritan yang dinamakan jeritan epilepsi. Kejang tonik ini kemudian disusul dengan kejang klonik yang seolah-olah mengguncang-guncang dan membanting-banting tubuh si sakit ke tanah. Kejang tonik-klonik berlangsung 2 - 3 menit. Selain kejang-kejang, terlihat aktivitas vegetatif seperti berkeringat, midriasis pupil, refleks cahaya negatif, mulut berbuih dan sianosis. Kejang berhenti secara berangsur-angsur dan penderita dalam keadaan stupor sampai koma. Kira-kira 4-5 menit kemudian penderita bangun, termenung dan kalau tak diganggu akan tidur beberapa jam. Frekuensi bangkitan dapat setiap jam sampai setahun sekali.
Fitur
|
Kejang parsial sederhana
|
Kejang parsial kompleks
|
Gangguan Kesadaran Terpengaruh
|
Tidak terganggu
|
Terganggu
|
Jangka waktu
|
detik hingga menit
|
Menit
|
Gejala dan tanda
|
Terganting tempat asal: tidak ada
postiktal kebingungan
|
Tergantung
pada tempat asal; terdapat postictal kebingungan
|
Usia
|
Semua usia
|
Semua usia
|
Iktal EEG
|
Setiap
epileptiform pembuangan kontralateral; dalam banyak kasus, tidak ada kelainan interiktal
terdeteksi |
Unilateral
atau bilateral epileptiform
pembuangan, difus atau fokal |
Tabel 1. Perbedaan antara kejang parsial sederhana dan kompleks
Diagnosis
Untuk dapat mendiagnosis seseorang menderita
epilepsi dapat dilakukan melalui anamnesis dan pemeriksaan klinis dengan
hasilpemeriksaan EEG dan radiologis. Namun demikian, bila secara kebetulan
melihat serangan yang sedang berlangsung maka epilepsi (klinis) sudah dapat
ditegakkan
Anamnesis
- Anamnesis harus dilakukan secara cermat, rinci dan menyeluruh, karena pemeriksa hampir tidak pemah menyaksikan serangan yang dialami penderita. Penjelasan perihal segala sesuatu yang terjadi sebelum, selama dan sesudah serangan (meliputi gejala dan lamanya serangan) merupakan informasi yang sangat berarti dan merupakan kunci diagnosis. Anamnesis juga memunculkan informasi tentang trauma kepala dengan kehilangan kesadaran, meningitis, ensefalitis, gangguan metabolik, malformasi vaskuler dan obat-obatan tertentu.1,2
- Anamnesis (auto dan aloanamnesis), meliputi:
- Pola / bentuk serangan
- Lama, durasi, frekuensi, interval terpanjang antar bangkitan
- Keadaan saat bangkitan : duduk/ berdiri/ berbaring/ tidur/ berkemih
- Gejala sebelum, selama dan paska serangan
- Faktor pencetus
- Ada / tidaknya penyakit lain yang diderita sekarang
- Usia saat serangan terjadinya pertama
- Riwayat kehamilan, persalinan dan perkembangan
- Riwayat penyakit, penyebab dan terapi sebelumnya
- Riwayat penyakit epilepsi dalam keluarga
- Riwayat bangkitan neonatal/ kejang demam
- Riwayat trauma kepala, infeksi, dll.
- Melihat adanya tanda-tanda dari gangguan yang berhubungan dengan epilepsi, seperti trauma kepala, infeksi telinga atau sinus, gangguan kongenital, gangguan neurologik fokal atau difus. Pemeriksaan fisik harus menepis sebab-sebab terjadinya serangan dengan menggunakan umur dan riwayat penyakit sebagai pegangan. Pada anak-anak pemeriksa harus memperhatikan adanya keterlambatan perkembangan, organomegali, perbedaan ukuran antara anggota tubuh dapat menunjukkan awal gangguan pertumbuhan otak unilateral.1,2
Pemeriksan Penunjang
- EEG
- Pemeriksaan EEG harus dilakukan pada semua pasien epilepsi dan merupakan pemeriksaan penunjang yang paling sering dilakukan untuk rnenegakkan diagnosis epilepsi. Adanya kelainan fokal pada EEG menunjukkan kemungkinan adanya lesi struktural di otak, sedangkan adanya kelainan umum pada EEG menunjukkan kemungkinan adanya kelainan genetik atau metabolik. Rekaman EEG sebaiknya dilakukan saat bangun, tidur, dengan stimulaso fotik, hiperventilasi, stimulasi tertentu sesuai pencetus bangkitan (pada epilepsy refleks).
- Indikasi EEG antara lain: membantu menegakkan diagnosis epilepsy; menentukan prognosis pada kasus tertentu; pertimbangan dalam penghentian OAE; membantu dalam menentukan letak focus; dan bila ada perubahan bentuk bangkitan dari bangkitan sebelumnya
- Rekaman EEG dikatakan abnormal :
- Asimetris irama dan voltase gelombang pada daerah yang sama di kedua hemisfer otak.
- Irama gelombang tidak teratur, irama gelombang lebih lambat dibanding seharusnya misal gelombang delta.
- Adanya gelombang yang biasanya tidak terdapat pada orang normal
- rekaman interiktal seperti yang saat ini dibuat, di Indonesia dikatakan bahwa kira-kira 30% penderita epilepsi akan menunjukkan rekaman dalam batas normal.1,2,7
- Brain Imaging
- CT scan dan MRI dapat memperlihatkan struktur jaringan otak, sedangkan neuroimaging lain memperlihatkan fungsi jaringan otak dan tata kerjanya. Hal ini sering dilakukan pada penderita kandidat operasi. Untuk beberapa tipe epilepsi maka neuroimaging mungkin tidak diperlukan. Neuroimaging harus dipertimbangkan apabila penyebab epileptic seizure adalah sesuatu yang dapat berubah, seperti benign tumor yang dapat membesardan malformasi vascular yang dapat pecah dan menimbulkan perdarahan. Pada keadaan ini serial imaging diperlukan untuk mencermati situasi. MRI juga berguna apabila kausa epileptic seizure itu suspected but indefinite, seperti trauma kepala ringan. CT atau MRI tidak diperlukan pada sindroma epilepsi yang jelas, seperti absence, juvenile myoclonic epilepsy, atau benign rolandic epilepsy, yang kausanya genetik dan MRI atau CT scan hampir selalu normal atau tidak berhubungan dengan epilepsinya. Neuroimaging lainnya:1,2,5
- Single photon emission computed tomography (SPECT) yang memperlihatkan peta aliran darah di berbagai bagian dari otak
- Positron emission tomography (PET), yang memperlihatkan seberapa banyak glukosa atau oksigen dimetabolisme di berbagai bagian dari otak.
- Magnetoencephalography (MEG), yang mengukur lapang magnit yang kecil untuk mempelajari pola elektris otak dengan mengurangi pengaruh tulang tengkorak dan jaringan lain seperti yang terjadi pada EEG.
- Magnetic resonance spectroscopy (MRS), yang mempelajari signal yang dipancarkan oleh fosfor misalnya. MRS menggunakan teknologi seperti MRI yang menggunakan atom hydrogen. MRS dapat digunakan untuk melihat metabolisme di otak.
- Ultrasound yang dapat melihat cairan atau darah di otak bayi yang baru lahir.
- Pemeriksaan laboratorium
- Hiponatremia , hipoglikemia, hipomagnesia, uremia dan hepatik ensefalopati dapat mencetuskan timbulnya serangan kejang. Pemeriksaan serum elektrolit bersama dengan glukose, kalsium, magnesium, “ Blood Urea Nitrogen” , kreatinin dan test fungsi hepar mungkin dapat memberikan petunjuk yang sangat berguna. Pemeriksaan toksikologi serum dan urin juga sebaiknya dilakukan bila dicurigai adanya “ drug abuse”.1,2
Diagnosis Banding
- Sinkope, dapat bersifat kardiogenik, hipovolemik, hipotensi, dll. Sinkope ialah keadaan kehilangan kesadaran sepintas akibat kekurangan alirandarah ke dalam otak dan anoksia. Pada fase permulaan, penderita menjadi gelisah, tampak pucat, berkeringat, merasa pusing, pandangan mengelam. Kesadaran menurun secara berangsur, nadi melemah, tekanan darah rendah.
- Hipoglikemia : Hipoglikemia didahului rasa lapar, berkeringat, palpitasi, tremor, mulut kering.Kesadaran dapat menurun perlahan-lahan.
- Histeria : Kejang fungsional atau psikologis sering terdapat pada wanita 7-15 tahun. Serangan biasanya terjadi di hadapan orang-orang yang hadir karena ingin menarik perhatian.Jarang terjadi luka-luka akibat jatuh, mengompol, atau perubahan pasca serangan seperti terdapat pada epilepsy. Gerakan-gerakan yang terjadi tidak menyerupai kejang tonik klonik, tetapi bias menyerupai sindroma hiperventilasi.
- Keracunan : Keracunan alcohol, obat tidur, penenang, menyebabkan kesadaran menurun.Pada keadaan ini penurunan kesadaran berlangsung lama yang mungkin pula di dapati pada epilepsi.
- Transient Ischemic Attact : Serangan ini dibedakan dari kejang dengan durasi lebih lama, kurangnya menyebar, dan gejala. Tingkat kesadaran, yang tidak berubah, tidak membedakan mereka. Ada kehilangan motor atau fungsi sensorik (misalnya, kelemahan atau mati rasa) dengan serangan iskemik transien, sedangkan gejala positif (misalnya, kejang atau parestesia menyentak) ciri kejang.
- Imbalance Elektrolit : Manifestasi klinis ketidakseimbangan elektrolit pada susunan sarf pusat secara umum adalah gangguan fungsional otak, dan tidak berhubungan dengan perubahan morfologik jaringan otak. Oleh karena itu manifestasi neurologis pada gangguan elektrolit bersifat reversibel. Kejang sering bersifat tonik klonik walaupun dapat berupa bangkitan lain. Kejang biasanya terjadi pada pasien kelainan kadar natrium, hipokalemia, hipomagnesium.
- Viral Encephalitis : Suatu proses inflamasi akut pada otak. Proses ini jarang terbatas pada otak saja sehingga sering digunakan istilah meningoensefalitis. Tanda utamanya adalah demam, nyeri kepala, dan perubahan tingkat kesadaran, tanda lainnya fotofobia, bingung, dan kadang disertai kejang
Penatalaksanaan
Tujuan utama terapi epilepsi adalah tercapainya kualitas hidup optimal
untuk pasein sesuai dengan perjalanan penyakit epilepsi dan disabilitas fisik
maupun mental yang dimilikinya. Untuk tercapainya tujuan tadi diperlukan
beberapa upaya, antara lain menghentikan bangkitan, mengurangi frekuensi
bangkitan tanpa efek samping/dengan efek samping yang minimal, menurunkan angka
kesakitan dan kamatian.
Prinsip pemberian terapi farmakologis pada
epilepsi adalah sebagai berikut:1,2- Obat Anti Epilepsi (OAE) diberikan bila:
- Diagnosis epilepsi sudah dipastikan (confirmed)
- Terdapat minimum 2 kali bangkitan dalam setahun
- Setelah pasien dan/atau keluarganya menerima penjelasan tentang tujuan pengobatan
- Pasien dan/atau keluarganya telah diberitahu tentang kemungkinan efek samping
- Terapi dimulai dengan monoterapi, menggunakan OAE pilihan sesuai dengan jenis bangkitan dan jenis sindrom epilepsi
- Pemberian obat dimulai dari dosis rendah dan dinaikkan bertahan sampai dosis efektif tercapai atau timbul efek samping; kadar obat dalam plasma ditentukan bila bangkitan tidak terkontrol dengan dosis efektif
- Bila dengan penggunaan dosis maksimum OAE tidak dapat mengontrol bangkitan, ditambahkan OAE kedua. Bila OAE kedua telah mencapai kadar terapi, maka OAE pertama diturunkan bertahap (tapering off) perlahan-lahan
- Penambahan OAE ketiga baru dilakukan setelah terbukti bangkitan tidak dapat diatasi dengan penggunaan dosis maksimal kedua OAE pertama
- Pasien dengan bangkitan tunggl direkomendasikan untuk dimulai terapi bila kemungkinan kekambuhan tinggi, yaitu bila:1,2
- Dijumpai fokus epilepsi yang jelas pada EEG
- Pada pemeriksaan CT scan atau MRI otak dijumpai lesi yang berkorelasi dengan bangkitan, misalnya meningioma, neoplasma otak, AVM, abses otak, dan ensefalitis
- Herpes
- Kerusakan otak
- Terdapat riwayat epilepsi pada saudara sekandung (bukan orang tua)
- Riwayat bangkitan simtomatik
- Terdapat sindrom epilepsi yang berisiko tinggi seperti JME (Juvenile Myoclonic Epilepsy)
- Riwayat trauma kepala tertama yang disertai penurunan kesadaran, stroke, infeksi SSP
- Bangkitan pertama berupa status epileptikus
- Efek samping OAE perlu diperhatikan, demikian pula halnya dengan interaksi farmakokinetik antar-OAE.
Obat saraf golongan
antikonvulsan atau obat epilepsi terbagi dalam 8 golongan yaitu:5
- Golongan Hidantoin: Fenitoin, Mefenotoin, Etotoin
- Golongan Barbiturat seperti Fenobarbital, Primidon.
- Golongan Oksazolidindion: Trimetadion.
- Golongan Suksinimid: Etosuksimid, Karbamazepin, Ox Carbazepine
- Golongan Benzodiazepin: Diazepam, Klonazepam, Nitrazepam, Levetiracetam
- Golongan Asam Valproat dan garamnya (Divalproex Na)
- Golongan Phenyltriazine; Lamotrigine.
- Golongan Gabapentin dan turunannya (Pregabalin).
- Lainnya: Fenasemid, Topiramate.
Tipe
Bangkitan
|
OAE
Lini I
|
OAE
Lini II / Tambahan
|
OAE
Lini III / Tambahan
|
Lena
|
Valproat
Lamotrigin
|
Etosuksimid
|
Levetiracetam
Zonisamid
|
Mioklonik
|
Valproat
|
Topiramat
Levetiracetam
Zonisamid
|
Lamotrigin
Clobazam
Clonazam
Fenobarbital
|
Tonik Klonik
|
Valproat
Karbamazepin
Fenitoin
Fenobarbital
|
Lamotrigin
Okskarbazepin
|
Topiramat
Levetiracetam
Zonisamid
Pirimidon
|
Atonik
|
Valproat
|
Lamotrigin
Topiramat
|
Felbamat
|
Parsial
|
Carbamazepin
Fenitoin
Fenobarbital
Okskarbazepin
Lamotrigin
Topiramat
Gabapentin
|
Valproat
Levetiracetam
Zonisamid
Pregabalin
|
Tlagabine
Vigabatrin
Felbamat
Pirimidon
|
Tidak terklasifikasikan
|
Valproat
|
Lamotrigin
|
Topiramat
Levetiracetam
Zonisamid
|
Tabel
2. Pemilihan OAE pada Pasien Remaja dan dewasa Berdasarkan Bentuk Bangkitan
Bila
lebih dari satu jenis obat yang digunakan bersama, kemungkinan saling
mempengaruhi tentu aada. Obat yang sering berinteraksi dapat mengganggu
konsentrasi obat (Meninggikan kadar difenilhidantoin seperti isoniazid, khloramfenikcol,
dikumarol, asetazolmaid; adapula yang menurunkan kadar difenilhidantoin seeprti
karbamazepin, diazepam, klonazepam) dan anti epilepsi dan obat yang diketahui
menurunkan kadarnya oelh obat antiepilepsi (griseolfulvin warfarin, hormon
steroid PII kontrasepsi, dan vitamin D doksisiklin).
Efek samping obat
dapat terjadi sehubungan dengan dosis, keadaan yang disebut suatu intoksikasi.
Pada keracunan akut difenilhidantoin berturut-turut dapat terjadi nystagmus,
ataksia, dan bila kadar obat lebih tinggi lagi penurunan kesadaran. Pada
keracunan kronik obat-obat epilepsi dapat terjadi degenerasi sel serebelum,
neurophaty perifer, anemia megaloblastik, dan defisiensi vitamin D.1
Ada dua mekanisme obat epilepsi yang penting
yaitu dengan mencegah timbulnya letupan depolarisasi eksesif pada neuron
epileptik dan dengan mencegah terjadinya letupan depolarisasi pada neuron
normal akibat pengaruh dari fokus epilepsi. Obat epilepsi digunakan terutama
untuk mencegah dan mengobati bangkitan epilepsi (epileptic seizure). Golongan
obat ini lebih tepat dinamakan antiepilepsi sebab obat ini jarang digunakan
untuk gejala kejang/konvulsi penyakit lain. Pasien perlu berobat secara
teratur. Pasien atau keluarganya dianjurkan untuk membuat catatan tentang datangnya
waktu bangkitan epilepsi.1,2
Obat
|
Mekanisme
Kerja
|
Ekskresi
|
Karbamazepin
|
Blok sodium
channel pada neuron, bekerja juga pada reseptor NMDA, monoamine dan
asetilkolin
|
>95% hati
|
Fenitoin
|
Blok sodium
channel dan inhibisi aksi konduktan kalsium dan klorida dan
neurotransmiter yang voltage dependent
|
>90% hati
|
Fenobarbital
|
Meningkatkan aktivitas reseptor GABAA,
menurunkan eksitabilitas glutamat, menurunkan konduktan natrium, kalium, dan
kalsium
|
75% hati
25% ginjal
|
Valproat
|
Diduga aktivitas GABA glutaminergik, menurunkan
ambang konduktan kalsium (T) dan kalium
|
>95% hati
|
Levetiracetam
|
Tidak diketahui
|
Cairan tubuh
|
Gabapentin
|
Modulasi calcium
channel tipe N
|
100% ginjal
|
Lamotrigin
|
Blok konduktan natrium yang voltage dependent
|
85% hati
|
Okskarbazepin
|
Blok sodium
channel, meningkatkan konduktan kalium, modulasi aktivitas calcium channel
|
45% hati
45% ginjal
|
Topiramat
|
Blok sodium
channel, meningkatkan influks GABA-mediated
chloride, meodulasi efek reseptor GABAA, bekerja pada reseptor
AMPA
|
90% hati
|
Zonisamid
|
Blok sodium,
potassium, calcium channels, inhibisi eksitasi glutamat
|
>90% hati
|
Tabel
3. Mekanisme Kerja dan Tempat Ekskresi OAE
Pemeriksaan neurologik
disertai EEG perlu dilakukan secara berkala. Di samping itu perlu berbagai
pemeriksaan lain untuk mendeteksi timbulnya efek samping sedini mungkin yang
dapat merugikan, antara lain pemeriksaan darah, kimia darah, maupun kadar obat
dalam darah. Fenitoin dan karbamazepin merupakan obat pilihan utama
untuk pengobatan epilepsi kecuali terhadap epilepsi petit mal.
Setelah
bangkitan terkontrol dalam jangka waktu tertentu (tiga hingga lima tahun tidak
mendapat serangan dan EEG normal atau hanya menunjukkan sedikit kelainan non
spesifik), OAE dapat dihentikan tanpa kekambuhan pada 60% pasien. Pada
anak-anak, penghentian OAE secara bertahap dapat dipertimbangkan setelah 2
tahun bebas bangkitan, sedangkan pada dewasa diperlukan waktu yang lebih lama
(5 tahun). Dalam hal penghentian OAE, maka ada dua hal penting yang perlu
diperhatikan, yaitu syarat umum untuk menghentikan OAE dan kemungkinan
kambuhnya bangkitan setelah OAE dihentikan.1,2
Syarat umum untuk menghentikan pemberian OAE
adalah:
- Penghentian OAE dapat didiskusikan dengan pasien atau keluarganya setelah minimal 2 tahun bebas bangkitan
- Gambaran EEG “normal”
- Harus dilakukan secara bertahap, pada umumnya 25% dari dosis semula, setiap bulan dalam jangka waktu 3-6 bulan
Kekambuhan setelah penghentian OAE akan lebih
besar kemungkinannya pada keadaan sebagai berikut :
- Semakin tua usia kemungkinan timbul kekambuhan semakin tinggi
- Epilepsi simtomatik
- Gambaran EEG yang abnormal
- Semakin lamanya bangkitan sebelum dapat dikendalikan
- Tergantung bentuk sindrom epilepsi yang diderita; sangat jarang pada sindrom epilepsi benigna dengan gelombang tajam pada daerah sentrotemporal, 5-25% pada epilepsi lena masa anak kecil, 25-75% epilepsi parsial kriptogenik/simtomatik, 85-95% pada epilepsi mioklonik pada anak
- Penggunaan lebih dari satu OAE
- Masih mendapatkan satu atau lebih bangkitan setealh memulia terapi
selama 3-5 tahun, atau
lebih dari lima tahun. Bila bangkitan timbul kembali maka gunakan dosis efektif
terakhir (sebelum pengurangan dosis OAE), kemudian di evaluasi kembali.1,2
Status Epileptikus
Status epileptikus merupakan salah
satu kondisi neurologis yang membutuhkan anamnesa yang akurat, pemeriksaan
fisik, prosedur diagnostik, dan penanganan segera mungkin dan harus dirawat
pada ruang intensif (ICU). Protokol penatalaksanaan status epileptikus pada
makalah ini diambil berdasarkan konsensus Epilepsy Foundation of America (EFA).
Lini pertama dalam penanganan status epileptikus menggunakan Benzodiazepin.
Benzodiazepin yang paling sering digunakan adalah diazepam 0.1–0.4 mg/kg, lorazepam
0.05–0.1 mg/kg atau midazolam 0.05–0.2 mg/kg. Ketiga obat ini bekerja
dengan peningkatan inhibisi dari g-aminobutyric acid (GABA) oleh ikatan
pada Benzodiazepin-GABA dan kompleks Reseptor-Barbiturat. Sedangkan obat lini
kedua yaitu phenytoin (PHT) 0.05–0.2 mg/kg, fosphenytoin (fPHT) 15–20 mg/kg PE,
valproate (VPA) 15–20 mg/kg, levetiracetam 1000–1500 mg tiap 12 jam.
Berdasarkan penelitian Randomized Controlled Trials
(RCT) pada 570 pasien yang mengalami status epileptikus yang dibagi berdasarkan
empat kelompok (pada tabel di bawah), dimana Lorazepam 0,1 mg/kg merupakan obat
terbanyak yang berhasil menghentikan kejang sebanyak 65 persen.
Nama
obat
|
Dosis
(mg/kg)
|
Persentase
|
1.
Lorazepam
|
0,1
|
65 %
|
2.
Phenobarbitone
|
15
|
59 %
|
3.
Diazepam + Fenitoin
|
0.15
+ 18
|
56 %
|
4.
Fenitoin
|
18
|
44 %
|
Tabel
4. Obat Status Epileptikus Konvulsivus
Lorazepam memiliki
volume distribusi yang rendah dibandingkan dengan Diazepam dan karenanya
memiliki masa kerja yang panjang. Diazepam sangat larut dalam lemak dan akan
terdistribusi pada depot lemak tubuh. Pada 25 menit setelah dosis awal,
konsentrasi Diazepam plasma jatuh ke 20 persen dari konsentrasi maksimal. Mula
kerja dan kecepatan depresi pernafasan dan kardiovaskuler (sekitar 10 %) dari
Lorazepam adalah sama.
Pemberian antikonvulsan masa kerja lama seharusnya
dengan menggunakan Benzodiazepin. Fenitoin diberikan dengan 15 sampai 20 mg/kg dengan kecepatan tidak lebih
dari 50 mg dengan infus atau bolus. Dosis selanjutnya 5-10 mg/kg jika kejang
berulang. Efek samping termasuk hipotensi (28-50 %), aritmia jantung (2%).
Fenitoin parenteral berisi Propilen glikol, Alkohol dan Natrium hidroksida dan
penyuntikan harus menggunakan jarum suntik yang besar diikuti dengan NaCl 0,9 %
untuk mencegah lokal iritasi : tromboplebitis dan “purple glove syndrome”.
Larutan dekstrosa tidak digunakan untuk mengencerkan fenitoin, karena akan
terjadi presipitasi yang mengakibatkan terbentuknya mikrokristal.1,2,6
Stadium
|
Penatalaksanaan
|
Stadium I
(0-10 menit)
|
·
memperbaiki fungsi kardio dan respirasi
·
memperbaiki jalan nafas, oksigenasi dan
resusitasi bilama diperlukan
|
Stadium II
(1-60 menit)
|
·
pemeriksaan status neurologik
·
pengukuran tekanan darah, nadi dan suhu
·
pemeriksaan EKG
·
pasang infus
·
ambil 50-100cc darah untuk pemeriksaan
laboratorium
·
pemberian OAE cito : diazepam 10-20 mg iv
(kecepatan pemberian <2-5 mg/menit atau rektal dapat diulang 15
menit kemudian)
·
Beri 50cc glukosa 50% dengan atau tanpa
thiamin 250 mg
·
Menangani asidosis dengan bikarbonat
|
Stadium III
(0-60/90 menit)
|
·
menentukan etiologi
·
bila kejang terus berlangsung setelah
pemberian lorazepam/diazepam, beri phenitoin IV 15-20mg/kg dengan kecepatan
kurang lebih 50mg/menit sambil monitoring tekanan darah.
·
Atau dapat pula diberikan Phenobarbital
10mg/kg dengan kecepatan kurang lebih 10mg/menit (monitoring pernafasan saat
pemberian)
·
Terapi vasopresor (dopamin) bila diperlukan.
·
Mengoreksi komplikasi
|
Stadium IV
(30-90 menit)
|
·
Bila selama 30-60 menit masih kejang, pindah
ke ICU
·
Beri propofol (2mg/kgBB bolus iv, diulang bila
perlu)
|
Tabel
5. Penanganan status epileptikus konvulsivus
Dari: Kustiowati E. Consensus epilepsy.h.17.
Dikatakan SE refrakter jika pemberian 2-3 jenis obat gagal mengatasi
bangkitan. Pasien dengan kejang yang rekuren, atau berlanjut selama
lebih dari 60 menit. Walaupun dengan obat lini pertama pada 9-40 % kasus.
Kejang berlanjut dengan alasan yang cukup banyak seperti, dosisnya di bawah kadar
terapi, hipoglikemia rekuren, atau hipokalsemia persisten. Kesalahan diagnosis
kemungkinan lain-tremor, rigor dan serangan psikogenik dapat meniru kejang
epileptik. Mortalitas pada status epileptikus refrakter sangat tinggi
dibandingkan dengan yang berespon terhadap terapi lini pertama.
Dalam mengatasi status epileptikus refrakter, beberapa
ahli menyarankan menggunakan Valproat atau Phenobarbitone secara intravena.
Sementara yang lain akan memberikan medikasi dengan kandungan anestetik seperti
Midazolam, Propofol, atau Tiofenton. Penggunaan ini dimonitor oleg EEG, dan
jika tidak ada kativitas kejang, maka dapat ditapering. Dan jika berlanjut akan
diulang dengan dosis awal.1,2,6
Prognosis
Prognosis umumnya baik, 70 – 80% pasien yang
mengalami epilepsi
akan sembuh, dan kurang lebih separuh pasien akan bisa lepas obat. Dua puluh sampai tiga puluh persen
mungkin akan berkembang menjadi epilepsi kronis dan pengobatan semakin sulit. Lima persen di antaranya akan tergantung pada orang lain
dalam kehidupan sehari-hari. Prognosis buruk pada pasien dengan lebih dari satu jenis
epilepsi, mengalami retardasi mental, dan gangguan psikiatri dan neurologic.
Penderita epilepsi memiliki tingkat kematian yg lebih tinggi daripada populasi
umum.
Serangan epilepsi primer, baik yang bersifat kejang umum maupun serangan lena
atau melamun atau absence mempunyai
prognosis terbaik. Sebaliknya epilepsi yang serangan pertamanya mulai pada usia
3 tahun atau yang disertai kelainan neurologik dan atau retardasi mental
mempunyai prognosis relatif jelek.3
Daftar Pustaka
1.
Kustiowati
E. Consensus epilepsy. Jakarta: PERDOSSI; 2006.
2.
Harsono, Kustiowati E, Gunadharma S. Pedoman tatalaksana
epilepsi. Cetakan Keempat. Jakarta: PERDOSSI; 2012.
3.
Harsono. Kapita selekta neurologi. Cetakan Ketujuh.
Jakarta: Gadjah Mada University Press; 2009.
4.
Ginsberg L. Epilepsi. Dalam : Lecture Notes Neurology.
Edisi kedelapan. Jakarta: Erlangga; 2008.
5.
Guberman A,
Bruni J. Essentials of clinical epilepsy. Second Edition. United States:
Butterworth-Heinemann; 1999.
6.
Ginsberg L. Kedaruratan neurologis. Dalam : Lecture
Notes Neurology. Edisi kedelapan. Jakarta: Erlangga; 2008.
7.
Mardjono M, Priguna S. Neurologi Klinis Dasar. Cetakan
ke-15. Jakarta : Dian Rakyat; 2012.
8.
Purba CS. Epilepsi: permasalahan di reseptor atau
neurotransmiter. Dalam: Medicinus. Volume 21. Desember 2008. Diunduh dari http://www.dexa-medica.com/images/publication_upload090109170636001231472906MEDICINUS_NOV_DES%2708.pdf;
25 Januari 2013.
9. Patofisiologi Epilepsi. 7 Agustus 2012. Diunduh dari http://blogkesehatan.net/patofisiologi-epilepsi-2/;
25 Januari 2013.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar