Selasa, 28 Juni 2016

Referat Epilepsi

Definisi
Epilepsi didefinisikan sebagai suatu keadaan yang ditandai oleh bangkitan epilepsi berulang berselang lebih dari 24 jam yang timbul tanpa provokasi. Sedangkan yang dimaksud dengan bangkitan epilepsi adalah manifestasi klinik yang  disebabkan oleh aktivitas listrik otak yang abnormal dan berlebihan dari sekelompok neuron. Manifestasi klinik ini terjadi secara tiba-tiba dan sementara berupa perubahan perilaku yang stereotipik, dapat menimbulkan gangguan kesadaran, gangguan motorik, sensorik, otonom, ataupun psikik. 2
Status Epileptikus (SE) didefinisikan sebagai keadaan dimana terjadinya dua atau lebih rangkaian kejang tanpa adanya pemulihan kesadaran diantara kejang, atau serangan yang berlangsung terus menerus selama 30 menit atau lebih. Serangan yang berlangsung terus menerus lebih dari 5 menit atau yang kesadarannya belum pulih setelah 5 menit harus dipertimbangkan sebagai SE.2
         Sindrom epilepsi merupakan kumpulan gejala dan tanda klinik yang unik untuk suatu epilepsi, mencakup lebih dari sekedar tipe bangkitan tetapi juga mencakup etiologi, anatomi, faktor presipitasi, usia awitan, berat kronisitas, siklus diurnal dan sirkadian bahkan kadang-kadang sampai prognosis.Konvulsi adalah gerak otot klonik atau tonik yang involuntar. Konvulsi dapat timbul karena anoksia serebri, intoksikasi serebri histeria atau berbagai manifestasi epilepsi.2

Klasifikasi
Pada tahun 1981, International League Against Epilepsy (ILAE) telah mengemukan klasifikasi mengenai epilepsi yang berdasarkan observasi secara klinikal dan EEG. Pada tahun 1989, ILAE mengemukan pula klasifikasi untuk epilepsi dan bangkitan epilepsi. Klasifikasi sindroma epilepsi berdasarkan faktor-faktor tipe bangkitan (umum atau terlokalisasi), etiologi (simtomatik atau idiopatik), usia, dan situasi yang berhubungan dengan bangkitan.1,2
  • Klasifikasi berdasarkan tipe bangkitan epilepsi :
        Bangkitan Parsial
        Bangkitan parsial diklasifikasikan menjadi 3 yakni:
    1. Parsial Sederhana (kesadaran tetap baik)
      • Dengan gejala motorik
      • Dengan gejala somatosensorik atau sensorik khusus
      • Dengan gejala autonom
      • Dengan gejala psikis
    2. Parsial Kompleks (kesadaran menurun)
      • Berasal sebagai parsial sederhana dan berekambang menjadi penurunan kesadaran
      • Dengan penurunan kesadaran sejak awaitan
    3. Parsial yang menjadi umum sekunder
      • Parsial sederhana yang menajdi umum tonik-konik
      • Parsial kompleks menjadi umum tonik-klonik
      • Parsial sederhana menjadi parsial kompleks dan menjadi umum tonik-konik
        Bangkitan Umum
          Bangkitan umum dibagi menjadi:
    1. Absence / lena / petit mal
    2. Klonik
    3. Tonik
    4. Tonik-klonik /Grand mal
    5. Mioklonik
    6. Atonik
          Tidak Tergolongkan
  • Klasifikasi ILAE 1989 untuk epilepsi dan sindroma epilepsi
          Berkaitan dengan lokasi kelainan (localized related)
    1. Idiopatik (primer)
      • Benign childhood epilepsy with centrotemporal spikes
      • Childhood epilepsy with occipital paroxysm
      • Primary reading epilepsy
    2. Simtomatik (sekunder)
      • Epilepsi parsial kontinua yang kronik pada anak-anak (Kojenikow’s Syndrome)
      • Sindrom dengan bangkitan yang dipresipitasi oleh suatu rangsangan (kurang tidur, alkohol, obat-obatan, hiperventilasi, epilepsi refleks, stimulasi fungsi kortikal tinggi, membaca)
      • Epilepsi lobus temporal : Onset pada usia kanak-kanak, kejang hilang selama bebearap tahun dan kembali muncul saat remaja, disertai dengan riwayat kejang demam, merupakan bangkitan parsial sederhana atau kompleks dengan atau tanpa generalisasi sekunder, disertai dengan aura (nyeri epigastrik, rasa takut deja vu, fenomena visual; disertai dengan automatisme (gerakan berulang), resisten terhadap OAE.
      • Epilepsi lobus frontal : Bangkitan parsial sederhana atau kompleks dengan atau tanpa generalisasi sekunder, aura nonspesifik, ada gangguan vokalisasi atau bicara, dapat timbul deviasi mata, EEG biasanya normal.
      • Epilepsi lobus parietal : Bangkitan parsial sederhana, motor atau sensori, dengan atau tanpa generalisasi sekunder, disertai dengan parestesia, lokasi pada wajah, lengan dan tangan; disertai halusinasi dan gangguan berbahasa
      • Epilepsi lobus oksipital
    3. Kriptogenik
          Epilepsi umum dan berbagai sindroma epilepsi berurutan sesuai dengan 
          peningkatan usia
    1. Idiopatik : Benign neonatal familial convulsions; Benign neonatal convulsions; Benign myoclonic epilepsy in infancy; Childhood absence epilepsy; Juvenile absence epilepsy; Juvenile myoclonic epilepsy (impulsive petit mal); Epilepsy with grand mal seizures upon awakening; dan Other generalized idiopathic epilepsies
    2. Kriptogenik atau simtomatik berurutan sesuai dengan peningkatan usia. : West’s syndrome (infantile spasms); Lennox gastaut syndrome; Epilepsy with myoclonic astatic seizures; dan Epilepsy with myoclonic absences
    3. Simtomatik
      • Etiologi non spesifik
        • Ensefalopati mioklonik dini
        • Ensefalopati pada infantile dini dengan burst suppression
        • Epilepsi simtomatik umum lainnya yang tidak termasuk di atas
      • Sindrom spesifik
        • Bangkitan epilepsi sebagai komplikasi penyakit lain
          Epilepsi dan sindrom yang tidak dapat ditentukan fokal atau umum
    1. Bangkitan umum dan fokal
      • bangkitan neonatal
      • epilepsi mioklonik berat pada bayi
      • epilepsi dengan gelombang paku kontinyu selama tidur dalam
      • epilepsi afasia yang didapat (Sindrom Landau-Kleffner)
      • epilepsi yang tidak terklasifikasikan selain yang di atas
    2. Tanpa gambaran tegas fokal atau umum
           Sindrom khusus: bangkitan yang berkaitan dengan situasi tertentu
    1. Kejang demam
    2. Bangkitan kejang/status epileptikus yang timbul hanya sekali (isolated)
    3. Bangkitan yang hanya terjadi bila terdapat kejadian metabolic akut, atau toksik, alcohol, obat-obatan, eklamsia, hiperglikemi non ketotik
    4. Bangkitan berkaitan dengan pencetus spesifik (epilepsi reflektorik)
Epidemiologi
Epilepsi dijumpai pada semua ras di dunia dengan insidensi dan prevalensi yang hampir sama, walaupun beberapa peneliti menemukan angka yang lebih tinggi di negara berkembang. Penderita laki-laki lebih banyak daripada penderita wanita, dan lebih sering dijumpai pada anak pertama.
    Awitan dapat dimulai pada semua umur tetapi terdapat perbedaan yang mencolok pada kelompok umur tertentu sekitar 30-32,9% penderita mendapat sawan pertama pada usia kurang dari 4 tahun, 50-51,5% terdapat pada kelompok kurang dari 10 tahun dan mencapai 75-83,4% pada usia kurang dari 20 tahun, 15% penderita pada usia lebih dari 25 tahun dan kurang dari 2% pada usia lebih dari 50 tahun.Hingga 1% dari populasi umum menderita epilepsi aktif, dengan 20-50 pasien baru per tahun. Perkiraan angka kematian pertahun akibat epilepsi adalah 2 per 100.000. 3,4,5
Status epileptikus merupakan suatu masalah yang umum terjadi dengan angka kejadian kira-kira 60.000 – 160.000 kasus dari status epileptikus tonik-klonik umum yang terjadi di Amerika Serikat setiap tahunnya. Pada sepertiga kasus, status epileptikus merupakan gejala yang timbul pada pasien yang mengalami epilepsi berulang. Sepertiga kasus terjadi pada pasien yang didiagnosa epilepsi, biasanya karena ketidakteraturan dalam memakan obat antikonvulsan. Mortalitas yang berhubungan dengan aktivitas kejang sekitar 1-2 persen, tetapi mortalitas yang berhubungan dengan penyakit yang menyebabkan status epileptikus kira-kira 10 persen. Pada kejadian tahunan menunjukkan suatu distribusi bimodal dengan puncak pada neonatus, anak-anak dan usia tua.
Dari data epidemiologi menunjukkan bahwa etiologi dari Status Epileptikus dapat dikategorikan pada proses akut dan kronik. Pada usia tua Status Epileptikus kebanyakan sekunder karena adanya penyakit serebrovaskuler, disfungsi jantung, dementia. Pada Negara miskin, epilepsy merupakan kejadian yang tak tertangani dan merupakan angka kejadian yang paling tinggi. 3,6

Etiologi
Etiologi epilepsi  dapat dibagi ke dalam tiga kategori, yaitu:2
  1. Idiopatik
    • Tidak terdapat lesi struktural di otak atau defisit neurologik. Diperkirakan mempunyai predisposisi genetik dan umumnya berhubungan dengan usia.
  2. Kriptogenik
    • Dianggap simptomatik tetapi penyebabnya belum diketahui. Termasuk disini adalah sindrom West, sindrom Lennox-Gastaut dan epilepsi mioklonik. Gambaran klinik sesuai dengan ensefalopati difus
  3. Simtomatik
    • Bangkitan epilepsi disebabkan oleh kelainan/ lesi struktural pada otak misalnya cedera kepala, infeksi SSP, kelainan kongenital, lesi desak ruang, gangguan peredaran darah otak, toksik, metabolik, kelainan neurodegeneratif.
Patofisiologi
Dasar serangan epilepsi ialah gangguan fungsi neuron-neuron otak dan transmisi pada sinaps. Tiap sel hidup, termasuk neuron-neuron otak mempunyai kegiatan listrik yang disebabkan oleh adanya potensial membran sel. Potensial membran neuron bergantung pada permeabilitas selektif membrane neuron, yakni membrane sel mudah dilalui oleh ion K dari ruang ekstraseluler ke intraseluler dan kurang sekali oleh ion Ca, Na dan Cl, sehingga di dalam sel terdapat kosentrasi tinggi ion K dan kosentrasi rendah ion Ca, Na, dan Cl, sedangkan keadaan sebaliknya terdapat diruang ekstraseluler. Perbedaan konsentrasi ion-ion inilah yang menimbulkan potensial membran.
Ujung terminal neuron-neuron berhubungan dengan dendrite-dendrit dan badan-badan neuron yang lain, membentuk sinaps dan merubah polarisasi membran neuron berikutnya. Ada dua jenis neurotransmitter, yakni neurotransmitter eksitasi yang memudahkan depolarisasi atau lepas muatan listrik dan neurotransmitter inhibisi yang menimbulkan hiperpolarisasi sehingga sel neuron lebih stabil dan tidak mudah melepaskan listrik.
Diantara neurotransmitter-neurotransmitter eksitasi dapat disebut glutamate,aspartat dan asetilkolin sedangkan neurotransmitter inhibisi yang terkenal ialah /gamma amino butyric acid /(GABA) dan glisin. Jika hasil pengaruh kedua jenis lepas muatan listrik dan terjadi transmisi impuls atau rangsang. Hal ini misalnya terjadi dalam keadaan fisiologik apabila potensial aksi tiba di neuron. Dalam keadaan istirahat, membran neuron mempunyai potensial listrik tertentu dan berada dalam keadaan polarisasi. Aksi potensial akan mencetuskan depolarisasi membrane neuron dan seluruh sel akan melepas muatan listrik.
Dari sudut pandang biologi molekuler, bangkitan epilepsi disebabkan oleh  ketidakseimbangan sekresi maupun fungsi neurotransmiter eksitatorik dan inhibitorik di otak. Keadaan ini bisa disebabkan sekresi neurotransmiter dari presinaptik tidak terkontrol ke sinaptik yang selanjutnya berperan pada reseptor NMDA atau AMPA di post-sinaptik. Keterlibatan reseptor NMDA subtipe dari reseptor glutamat (NMDAR) disebut-sebut sebagai patologi terjadinya kejang dan epilepsi. Secara farmakologik, inhibisi terhadap NMDAR ini merupan prinsip kerja dari obat antiepilepsi. Beberapa penelitian neurogenetik membuktikan adanya beberapa faktor yang bertanggungjawab atas bangkitan epilepsi antara lain kelainan pada ligand-gate (sub unit dari reseptor nikotinik) begitu juga halnya dengan voltage-gate (kanal natrium dan kalium). Hal ini terbukti pada epilepsi lobus frontalis yang ternyata ada hubungannya dengan terjadinya mutasi dari resepot nikotinik subunit alfa 4.
Berbicara mengenai kanal ion maka peran natrium, kalium dan kalsium merupakan ion-ion yang berperan dalam sistem komunikasi neuron lewat reseptor. Masuk dan keluarnya ion-ion ini menghasilkan bangkitan listrik yang dibutuhkan dalam komunikasi sesama neuron. Oleh berbagai faktor, diantaranya keadaan patologik, dapat merubah atau mengganggu fungsi membran neuron sehingga membran mudah dilampaui oleh ion Ca dan Na dari ruangan ekstra ke intra seluler. Influks Ca akan mencetuskan letupan depolarisasi membran dan lepas muatan listrik berlebihan, tidak teratur dan terkendali. Lepas muatan listrik demikian oleh sejumlah besar neuron secara sinkron merupakan dasar suatu serangan epilepsi. Suatu sifat khas serangan epilepsi ialah bahwa beberapa saat serangan berhenti akibat pengaruh proses inhibisi. Di duga inhibisi ini adalah pengaruh neuron-neuron sekitar sarang epileptik. Selain itu juga sistem-sistem inhibisi pra dan pasca sinaptik yang menjamin agar neuron-neuron tidak terus-menerus berlepasmuatan memegang peranan. Keadaan lain yang dapat menyebabkan suatu serangan epilepsi terhenti ialah kelelahan neuron-neuron akibat habisnya zat-zat yang penting untuk fungsi otak.1,7-9

Manifestasi Klinis
Epileptic seizure adalah suatu kejadian klinis, sehingga tanda dan gejala yang ada harus ada pada definisinya. Bentuk seizure yang muncul sangat tergantung pada lokasi onset di otak, pola propagasinya, maturitas otak , proses penyakit otak yang ada, siklus bangun-tidur, medikasi dan berbagai faktor lain. Seizure dapat mempengaruhi fungsi sensoris, motoris, auditoris, kognisi, atau tingkah laku. Manifestasi sensoris dapat  berupa somatosensoris, auditoris, visual, olfaktoris, gustatoris, vestibuler dan juga sensasi internal yang lebih kompleks yang berupa distorsi persepsi kompleks. Pada definisi terdahulu, hal ini disebut psychic seizure.
Menurut ILAE Glossary of Descriptive Terminology for Ictal Semiology (Blume 2001) defisit kognisi saat seizure dapat berupa problema persepsi, atensi, emosi, memori, eksekusi, praxis atau bicara. Distorsi memori dapat bersifat negative seperti gangguan formasi dan retrieval memori dan dapat pula bersifat positif seperti deja vu dan forced memory lain selama seizure. Pada definisi terdahulu ini disebut psychic seizure juga. Status emosi harus dipertimbangkan juga pada definisi oleh karena  manifestasi seizure dapat berupa rasa takut, rasa puas, cemas, gembira, sedih dan sensasi subyektif lain yang tidak dapat diterangkan dengan sensasi primer.1,3-5
  • Grand mal (kejang tonik-klonik)
    • Grand mal (meliputi 75% kasus epilepsi) meliputi tipe primer dan sekunder Epilesi grand mal ditandai dengan hilang kesadaran dan bangkitan tonik-tonik. Manifestasi klinik kedua golongan epilepsi grand mal tersebut sama, perbedaan terletak pada ada tidaknya aura yaitu gejala pendahulu atau preiktal sebelum serangan kejang-kejang.
      Pada epilepsi grand mal simtomatik selalu didahului aura yang memberi manifestasi sesuai dengan letak focus epileptogen pada permukaan otak. Aura dapat berupa perasaan tidak enak, melihat sesuatu, mencium bau-bauan tak enak, mendengar suara gemuruh, mengecap sesuatu, sakit kepala dan sebagainya.
      Bangkitan di mulai dengan kehilangan kesadaran sehingga aktivitas penderita terhenti. Kemudian penderita mengalami kejang tonik yaitu otot-otot berkontraksi sangat hebat, penderita terjatuh, lengan fleksi dan tungkai ekstensi. Udara paru-paru terdorong keluar dengan deras sehingga terdengar jeritan yang dinamakan jeritan epilepsi. Kejang tonik ini kemudian disusul dengan kejang klonik yang seolah-olah mengguncang-guncang dan membanting-banting tubuh si sakit ke tanah. Kejang tonik-klonik berlangsung 2 - 3 menit. Selain kejang-kejang, terlihat aktivitas vegetatif seperti berkeringat, midriasis pupil, refleks cahaya negatif, mulut berbuih dan sianosis. Kejang berhenti secara berangsur-angsur dan penderita dalam keadaan stupor sampai koma. Kira-kira 4-5 menit kemudian penderita bangun, termenung dan kalau tak diganggu akan tidur beberapa jam. Frekuensi bangkitan dapat setiap jam sampai setahun sekali.
Fitur
Kejang parsial sederhana
Kejang parsial kompleks
Gangguan Kesadaran Terpengaruh
Tidak terganggu
 Terganggu
Jangka waktu
detik  hingga menit
Menit
Gejala dan tanda
Terganting tempat asal: tidak ada postiktal kebingungan
Tergantung pada tempat asal; terdapat postictal kebingungan
Usia
Semua usia
Semua usia
Iktal EEG
Setiap epileptiform pembuangan kontralateral; dalam banyak kasus, tidak ada kelainan interiktal
terdeteksi
Unilateral atau bilateral epileptiform
pembuangan, difus atau fokal

Tabel 1. Perbedaan antara kejang parsial sederhana dan kompleks

Diagnosis
Untuk dapat mendiagnosis seseorang menderita epilepsi dapat dilakukan melalui anamnesis dan pemeriksaan klinis dengan hasilpemeriksaan EEG dan radiologis. Namun demikian, bila secara kebetulan melihat serangan yang sedang berlangsung maka epilepsi (klinis) sudah dapat ditegakkan

Anamnesis
  • Anamnesis harus dilakukan secara cermat, rinci dan menyeluruh, karena pemeriksa hampir tidak pemah menyaksikan serangan yang dialami penderita. Penjelasan perihal segala sesuatu yang terjadi sebelum, selama dan sesudah serangan (meliputi gejala dan lamanya serangan) merupakan informasi yang sangat berarti dan merupakan kunci diagnosis. Anamnesis juga memunculkan informasi tentang trauma kepala dengan kehilangan kesadaran, meningitis, ensefalitis, gangguan metabolik, malformasi vaskuler dan obat-obatan tertentu.1,2
  • Anamnesis (auto dan aloanamnesis), meliputi:
    • Pola / bentuk serangan
    •  Lama, durasi, frekuensi, interval terpanjang antar bangkitan
    •  Keadaan saat bangkitan : duduk/ berdiri/ berbaring/ tidur/ berkemih
    • Gejala sebelum, selama dan paska serangan
    •  Faktor pencetus
    • Ada / tidaknya penyakit lain yang diderita sekarang
    •  Usia saat serangan terjadinya pertama
    •  Riwayat kehamilan, persalinan dan perkembangan
    •  Riwayat penyakit, penyebab dan terapi sebelumnya
    •  Riwayat penyakit epilepsi dalam keluarga     
    • Riwayat bangkitan neonatal/ kejang demam
    • Riwayat trauma kepala, infeksi, dll.
Pemeriksaan fisik umum dan neurologis
  • Melihat adanya tanda-tanda dari gangguan yang berhubungan dengan epilepsi, seperti trauma kepala, infeksi telinga atau sinus, gangguan kongenital, gangguan neurologik fokal atau difus. Pemeriksaan fisik harus menepis sebab-sebab terjadinya serangan dengan menggunakan umur dan riwayat penyakit sebagai pegangan. Pada anak-anak pemeriksa harus memperhatikan adanya keterlambatan perkembangan, organomegali, perbedaan ukuran antara anggota tubuh dapat menunjukkan awal gangguan pertumbuhan otak unilateral.1,2
Pemeriksan Penunjang
  • EEG
    • Pemeriksaan EEG harus dilakukan pada semua pasien epilepsi dan merupakan pemeriksaan penunjang yang paling sering dilakukan untuk rnenegakkan diagnosis epilepsi. Adanya kelainan fokal pada EEG menunjukkan kemungkinan adanya lesi struktural di otak, sedangkan adanya kelainan umum pada EEG menunjukkan kemungkinan adanya kelainan genetik atau metabolik. Rekaman EEG sebaiknya dilakukan saat bangun, tidur, dengan stimulaso fotik, hiperventilasi, stimulasi tertentu sesuai pencetus bangkitan (pada epilepsy refleks).
    • Indikasi EEG antara lain: membantu menegakkan diagnosis epilepsy; menentukan prognosis pada kasus tertentu; pertimbangan dalam penghentian OAE; membantu dalam menentukan letak focus; dan bila ada perubahan bentuk bangkitan dari bangkitan sebelumnya
    • Rekaman EEG dikatakan abnormal :
      • Asimetris irama dan voltase gelombang pada daerah yang sama di kedua hemisfer otak.
      • Irama gelombang tidak teratur, irama gelombang lebih lambat dibanding seharusnya misal gelombang delta.
      •  Adanya gelombang yang biasanya tidak terdapat pada orang normal
      • Pada Grand Mal didapatkan Fase tonik pada kejang merupakan karakteristik oleh progresifitas amplitudo tinggi dan frekuensi rendah dengan pengamatan khusus simultan pada kedua hemisfer kortek, jangkauan maksimum adalah 10 Hz. Kemudian menjadi lambat dan bergabung menjadi amplitudo paku yang tinggi secara bilateral dan progresifitas yang tinggi dengan ritme amplitudo tinggi aktifitas delta, melambat, berkembang progresifitas menjadi komplek yang berulang dari amplitudo tinggi, paku dan lambat. Gelombang aktifitas dalam fase klonik. Setelah kejang berhenti EEG hampir flat selama beberapa saat.
    • rekaman interiktal seperti yang saat ini dibuat, di Indonesia dikatakan bahwa kira-kira 30% penderita epilepsi akan menunjukkan rekaman dalam batas normal.1,2,7
  • Brain Imaging
    • CT scan dan MRI dapat memperlihatkan struktur jaringan otak, sedangkan neuroimaging lain memperlihatkan fungsi jaringan otak dan  tata kerjanya. Hal ini sering dilakukan pada penderita kandidat operasi. Untuk beberapa tipe epilepsi maka neuroimaging mungkin tidak diperlukan. Neuroimaging harus dipertimbangkan apabila penyebab epileptic seizure adalah sesuatu yang dapat berubah, seperti benign tumor yang dapat membesardan malformasi vascular yang dapat pecah dan menimbulkan perdarahan. Pada keadaan ini serial imaging diperlukan untuk mencermati situasi. MRI juga berguna apabila kausa epileptic seizure itu suspected but indefinite, seperti trauma kepala ringan. CT atau MRI tidak diperlukan pada sindroma epilepsi yang jelas, seperti absence, juvenile myoclonic epilepsy, atau benign rolandic epilepsy, yang kausanya genetik dan MRI atau CT scan hampir selalu normal atau tidak berhubungan dengan epilepsinya. Neuroimaging lainnya:1,2,5
      • Single photon emission computed tomography (SPECT) yang memperlihatkan peta     aliran darah di berbagai bagian dari otak
      • Positron emission tomography (PET), yang memperlihatkan seberapa banyak glukosa atau oksigen dimetabolisme di berbagai bagian dari otak.
      • Magnetoencephalography (MEG), yang mengukur lapang magnit yang kecil untuk mempelajari pola elektris otak dengan mengurangi pengaruh tulang tengkorak dan jaringan lain seperti yang terjadi pada EEG. 
      • Magnetic resonance spectroscopy (MRS), yang mempelajari signal yang dipancarkan oleh fosfor misalnya. MRS menggunakan teknologi seperti MRI yang menggunakan atom hydrogen. MRS dapat digunakan untuk melihat metabolisme di otak.
      • Ultrasound yang dapat melihat cairan atau darah di otak bayi yang baru lahir.
  • Pemeriksaan laboratorium
    • Hiponatremia , hipoglikemia, hipomagnesia, uremia dan hepatik ensefalopati dapat mencetuskan timbulnya serangan kejang. Pemeriksaan serum elektrolit bersama dengan glukose, kalsium, magnesium, “ Blood Urea Nitrogen” , kreatinin dan test fungsi hepar mungkin dapat memberikan petunjuk yang sangat berguna. Pemeriksaan toksikologi serum dan urin juga sebaiknya dilakukan bila dicurigai adanya “ drug abuse”.1,2

Diagnosis Banding
  • Sinkope, dapat bersifat kardiogenik, hipovolemik, hipotensi, dll. Sinkope ialah keadaan kehilangan kesadaran sepintas akibat kekurangan alirandarah ke dalam otak dan anoksia. Pada fase permulaan, penderita menjadi gelisah, tampak pucat, berkeringat, merasa pusing, pandangan mengelam. Kesadaran menurun secara berangsur, nadi melemah, tekanan darah rendah.
  • Hipoglikemia : Hipoglikemia didahului rasa lapar, berkeringat, palpitasi, tremor, mulut kering.Kesadaran dapat menurun perlahan-lahan.
  • Histeria : Kejang fungsional atau psikologis sering terdapat pada wanita 7-15 tahun. Serangan biasanya terjadi di hadapan orang-orang yang hadir karena ingin menarik perhatian.Jarang terjadi luka-luka akibat jatuh, mengompol, atau perubahan pasca serangan seperti terdapat pada epilepsy. Gerakan-gerakan yang terjadi tidak menyerupai kejang tonik klonik, tetapi bias menyerupai sindroma hiperventilasi.
  • Keracunan : Keracunan alcohol, obat tidur, penenang, menyebabkan kesadaran menurun.Pada keadaan ini penurunan kesadaran berlangsung lama yang mungkin pula di dapati pada epilepsi.
  • Transient Ischemic Attact : Serangan ini dibedakan dari kejang dengan durasi lebih lama, kurangnya menyebar, dan gejala. Tingkat kesadaran, yang tidak berubah, tidak membedakan mereka. Ada kehilangan motor atau fungsi sensorik (misalnya, kelemahan atau  mati rasa) dengan serangan iskemik transien, sedangkan gejala positif (misalnya, kejang atau parestesia menyentak) ciri kejang.
  • Imbalance Elektrolit : Manifestasi klinis ketidakseimbangan elektrolit pada susunan sarf pusat secara umum adalah gangguan fungsional otak, dan tidak berhubungan dengan perubahan morfologik jaringan otak. Oleh karena itu manifestasi neurologis pada gangguan elektrolit bersifat reversibel. Kejang sering bersifat tonik klonik walaupun dapat berupa bangkitan lain. Kejang biasanya terjadi pada pasien kelainan kadar natrium, hipokalemia, hipomagnesium.
  • Viral Encephalitis : Suatu proses inflamasi akut pada otak. Proses ini jarang terbatas pada otak saja sehingga sering digunakan istilah meningoensefalitis. Tanda utamanya adalah demam, nyeri kepala, dan perubahan tingkat kesadaran, tanda lainnya fotofobia, bingung, dan kadang disertai kejang
Penatalaksanaan
Tujuan utama terapi epilepsi adalah tercapainya kualitas hidup optimal untuk pasein sesuai dengan perjalanan penyakit epilepsi dan disabilitas fisik maupun mental yang dimilikinya. Untuk tercapainya tujuan tadi diperlukan beberapa upaya, antara lain menghentikan bangkitan, mengurangi frekuensi bangkitan tanpa efek samping/dengan efek samping yang minimal, menurunkan angka kesakitan dan kamatian.
Prinsip pemberian terapi farmakologis pada epilepsi adalah sebagai berikut:1,2
  1. Obat Anti Epilepsi (OAE) diberikan bila:
    • Diagnosis epilepsi sudah dipastikan (confirmed)
    • Terdapat minimum 2 kali bangkitan dalam setahun
    • Setelah pasien dan/atau keluarganya menerima penjelasan tentang tujuan pengobatan
    • Pasien dan/atau keluarganya telah diberitahu tentang kemungkinan efek samping
  2. Terapi dimulai dengan monoterapi, menggunakan OAE pilihan sesuai dengan jenis bangkitan dan jenis sindrom epilepsi
  3. Pemberian obat dimulai dari dosis rendah dan dinaikkan bertahan sampai dosis efektif tercapai atau timbul efek samping; kadar obat dalam plasma ditentukan bila bangkitan tidak terkontrol dengan dosis efektif
  4. Bila dengan penggunaan dosis maksimum OAE tidak dapat mengontrol bangkitan, ditambahkan OAE kedua. Bila OAE kedua telah mencapai kadar terapi, maka OAE pertama diturunkan bertahap (tapering off) perlahan-lahan
  5. Penambahan OAE ketiga baru dilakukan setelah terbukti bangkitan tidak dapat diatasi dengan penggunaan dosis maksimal kedua OAE pertama
  6. Pasien dengan bangkitan tunggl direkomendasikan untuk dimulai terapi bila kemungkinan kekambuhan tinggi, yaitu bila:1,2
    • Dijumpai fokus epilepsi yang jelas pada EEG
    • Pada pemeriksaan CT scan atau MRI otak dijumpai lesi yang berkorelasi dengan bangkitan, misalnya meningioma, neoplasma otak, AVM, abses otak, dan ensefalitis
    •  Herpes
    • Kerusakan otak
    • Terdapat riwayat epilepsi pada saudara sekandung (bukan orang tua)
    • Riwayat bangkitan simtomatik
    • Terdapat sindrom epilepsi yang berisiko tinggi seperti JME (Juvenile Myoclonic Epilepsy)
    • Riwayat trauma kepala tertama yang disertai penurunan kesadaran, stroke, infeksi SSP
    • Bangkitan pertama berupa status epileptikus
  7. Efek samping OAE perlu diperhatikan, demikian pula halnya dengan interaksi farmakokinetik antar-OAE.
Obat saraf golongan antikonvulsan atau obat epilepsi terbagi dalam 8 golongan yaitu:5
  1. Golongan Hidantoin: Fenitoin, Mefenotoin, Etotoin
  2. Golongan Barbiturat seperti Fenobarbital, Primidon.
  3. Golongan Oksazolidindion: Trimetadion.
  4. Golongan Suksinimid: Etosuksimid, Karbamazepin, Ox Carbazepine
  5. Golongan Benzodiazepin: Diazepam, Klonazepam, Nitrazepam, Levetiracetam
  6. Golongan Asam Valproat dan garamnya (Divalproex Na)
  7. Golongan Phenyltriazine; Lamotrigine.
  8. Golongan Gabapentin dan turunannya (Pregabalin).
  9. Lainnya: Fenasemid, Topiramate.
Tipe Bangkitan
OAE Lini I
OAE Lini II / Tambahan
OAE Lini III / Tambahan
Lena
Valproat
Lamotrigin
Etosuksimid
Levetiracetam
Zonisamid
Mioklonik
Valproat
Topiramat
Levetiracetam
Zonisamid
Lamotrigin
Clobazam
Clonazam
Fenobarbital
Tonik Klonik
Valproat
Karbamazepin
Fenitoin
Fenobarbital
Lamotrigin
Okskarbazepin
Topiramat
Levetiracetam
Zonisamid
Pirimidon
Atonik
Valproat
Lamotrigin
Topiramat
Felbamat
Parsial
Carbamazepin
Fenitoin
Fenobarbital
Okskarbazepin
Lamotrigin
Topiramat
Gabapentin
Valproat
Levetiracetam
Zonisamid
Pregabalin
Tlagabine
Vigabatrin
Felbamat
Pirimidon
Tidak terklasifikasikan
Valproat
Lamotrigin
Topiramat
Levetiracetam
Zonisamid
Tabel 2. Pemilihan OAE pada Pasien Remaja dan dewasa Berdasarkan Bentuk Bangkitan

Bila lebih dari satu jenis obat yang digunakan bersama, kemungkinan saling mempengaruhi tentu aada. Obat yang sering berinteraksi dapat mengganggu konsentrasi obat (Meninggikan kadar difenilhidantoin seperti isoniazid, khloramfenikcol, dikumarol, asetazolmaid; adapula yang menurunkan kadar difenilhidantoin seeprti karbamazepin, diazepam, klonazepam) dan anti epilepsi dan obat yang diketahui menurunkan kadarnya oelh obat antiepilepsi (griseolfulvin warfarin, hormon steroid PII kontrasepsi, dan vitamin D doksisiklin).
Efek samping obat dapat terjadi sehubungan dengan dosis, keadaan yang disebut suatu intoksikasi. Pada keracunan akut difenilhidantoin berturut-turut dapat terjadi nystagmus, ataksia, dan bila kadar obat lebih tinggi lagi penurunan kesadaran. Pada keracunan kronik obat-obat epilepsi dapat terjadi degenerasi sel serebelum, neurophaty perifer, anemia megaloblastik, dan defisiensi vitamin D.1
Ada dua mekanisme obat epilepsi yang penting yaitu dengan mencegah timbulnya letupan depolarisasi eksesif pada neuron epileptik dan dengan mencegah terjadinya letupan depolarisasi pada neuron normal akibat pengaruh dari fokus epilepsi. Obat epilepsi digunakan terutama untuk mencegah dan mengobati bangkitan epilepsi (epileptic seizure). Golongan obat ini lebih tepat dinamakan antiepilepsi sebab obat ini jarang digunakan untuk gejala kejang/konvulsi penyakit lain. Pasien perlu berobat secara teratur. Pasien atau keluarganya dianjurkan untuk membuat catatan tentang datangnya waktu bangkitan epilepsi.1,2

Obat
Mekanisme Kerja
Ekskresi
Karbamazepin
Blok sodium channel pada neuron, bekerja juga pada reseptor NMDA, monoamine dan asetilkolin
>95% hati
Fenitoin
Blok sodium channel dan inhibisi aksi konduktan kalsium dan klorida dan neurotransmiter yang voltage dependent
>90% hati
Fenobarbital
Meningkatkan aktivitas reseptor GABAA, menurunkan eksitabilitas glutamat, menurunkan konduktan natrium, kalium, dan kalsium
75% hati
25% ginjal
Valproat
Diduga aktivitas GABA glutaminergik, menurunkan ambang konduktan kalsium (T) dan kalium
>95% hati
Levetiracetam
Tidak diketahui
Cairan tubuh
Gabapentin
Modulasi calcium channel tipe N
100% ginjal
Lamotrigin
Blok konduktan natrium yang voltage dependent
85% hati
Okskarbazepin
Blok sodium channel, meningkatkan konduktan kalium, modulasi aktivitas calcium channel
45% hati
45% ginjal
Topiramat
Blok sodium channel, meningkatkan influks GABA-mediated chloride, meodulasi efek reseptor GABAA, bekerja pada reseptor AMPA
90% hati
Zonisamid
Blok sodium, potassium, calcium channels, inhibisi eksitasi glutamat
>90% hati
Tabel 3. Mekanisme Kerja dan Tempat Ekskresi OAE

Pemeriksaan neurologik disertai EEG perlu dilakukan secara berkala. Di samping itu perlu berbagai pemeriksaan lain untuk mendeteksi timbulnya efek samping sedini mungkin yang dapat merugikan, antara lain pemeriksaan darah, kimia darah, maupun kadar obat dalam darah. Fenitoin dan karbamazepin merupakan obat pilihan utama untuk pengobatan epilepsi kecuali terhadap epilepsi petit mal.
            Setelah bangkitan terkontrol dalam jangka waktu tertentu (tiga hingga lima tahun tidak mendapat serangan dan EEG normal atau hanya menunjukkan sedikit kelainan non spesifik), OAE dapat dihentikan tanpa kekambuhan pada 60% pasien. Pada anak-anak, penghentian OAE secara bertahap dapat dipertimbangkan setelah 2 tahun bebas bangkitan, sedangkan pada dewasa diperlukan waktu yang lebih lama (5 tahun). Dalam hal penghentian OAE, maka ada dua hal penting yang perlu diperhatikan, yaitu syarat umum untuk menghentikan OAE dan kemungkinan kambuhnya bangkitan setelah OAE dihentikan.1,2
Syarat umum untuk menghentikan pemberian OAE adalah:
  1. Penghentian OAE dapat didiskusikan dengan pasien atau keluarganya setelah minimal 2 tahun bebas bangkitan
  2. Gambaran EEG “normal”
  3.  Harus dilakukan secara bertahap, pada umumnya 25% dari dosis semula, setiap bulan dalam jangka waktu 3-6 bulan
  4. Bila digunkaan lebih dari 1 OAE, maka penghentian dimulai dari 1 OAE yang bukan utama
Kekambuhan setelah penghentian OAE akan lebih besar kemungkinannya pada keadaan sebagai berikut :
  1. Semakin tua usia kemungkinan timbul kekambuhan semakin tinggi
  2. Epilepsi simtomatik
  3. Gambaran EEG yang abnormal
  4. Semakin lamanya bangkitan sebelum dapat dikendalikan
  5. Tergantung bentuk sindrom epilepsi yang diderita; sangat jarang pada sindrom epilepsi benigna dengan gelombang tajam pada daerah sentrotemporal, 5-25% pada epilepsi lena masa anak kecil, 25-75% epilepsi parsial kriptogenik/simtomatik, 85-95% pada epilepsi mioklonik pada anak
  6. Penggunaan lebih dari satu OAE
  7. Masih mendapatkan satu atau lebih bangkitan setealh memulia terapi
  8. Mendapat terapi 10 tahun atau lebih
selama 3-5 tahun, atau lebih dari lima tahun. Bila bangkitan timbul kembali maka gunakan dosis efektif terakhir (sebelum pengurangan dosis OAE), kemudian di evaluasi kembali.1,2

Status Epileptikus
Status epileptikus merupakan salah satu kondisi neurologis yang membutuhkan anamnesa yang akurat, pemeriksaan fisik, prosedur diagnostik, dan penanganan segera mungkin dan harus dirawat pada ruang intensif (ICU). Protokol penatalaksanaan status epileptikus pada makalah ini diambil berdasarkan konsensus Epilepsy Foundation of America (EFA). Lini pertama dalam penanganan status epileptikus menggunakan Benzodiazepin. Benzodiazepin yang paling sering digunakan adalah diazepam 0.1–0.4 mg/kg, lorazepam 0.05–0.1 mg/kg atau midazolam 0.05–0.2 mg/kg. Ketiga obat ini bekerja dengan peningkatan inhibisi dari g-aminobutyric acid (GABA) oleh ikatan pada Benzodiazepin-GABA dan kompleks Reseptor-Barbiturat. Sedangkan obat lini kedua yaitu phenytoin (PHT) 0.05–0.2 mg/kg, fosphenytoin (fPHT) 15–20 mg/kg PE, valproate (VPA) 15–20 mg/kg, levetiracetam 1000–1500 mg tiap 12 jam.
Berdasarkan penelitian Randomized Controlled Trials (RCT) pada 570 pasien yang mengalami status epileptikus yang dibagi berdasarkan empat kelompok (pada tabel di bawah), dimana Lorazepam 0,1 mg/kg merupakan obat terbanyak yang berhasil menghentikan kejang sebanyak 65 persen.

Nama obat
Dosis (mg/kg)
Persentase
1. Lorazepam
0,1
65 %
2. Phenobarbitone
15
59 %
3. Diazepam + Fenitoin
0.15 + 18
56 %
4. Fenitoin
18
44 %
Tabel 4. Obat Status Epileptikus Konvulsivus

Lorazepam memiliki volume distribusi yang rendah dibandingkan dengan Diazepam dan karenanya memiliki masa kerja yang panjang. Diazepam sangat larut dalam lemak dan akan terdistribusi pada depot lemak tubuh. Pada 25 menit setelah dosis awal, konsentrasi Diazepam plasma jatuh ke 20 persen dari konsentrasi maksimal. Mula kerja dan kecepatan depresi pernafasan dan kardiovaskuler (sekitar 10 %) dari Lorazepam adalah sama.
Pemberian antikonvulsan masa kerja lama seharusnya dengan menggunakan Benzodiazepin. Fenitoin diberikan dengan 15 sampai 20 mg/kg dengan kecepatan tidak lebih dari 50 mg dengan infus atau bolus. Dosis selanjutnya 5-10 mg/kg jika kejang berulang. Efek samping termasuk hipotensi (28-50 %), aritmia jantung (2%). Fenitoin parenteral berisi Propilen glikol, Alkohol dan Natrium hidroksida dan penyuntikan harus menggunakan jarum suntik yang besar diikuti dengan NaCl 0,9 % untuk mencegah lokal iritasi : tromboplebitis dan “purple glove syndrome”. Larutan dekstrosa tidak digunakan untuk mengencerkan fenitoin, karena akan terjadi presipitasi yang mengakibatkan terbentuknya mikrokristal.1,2,6

Stadium
Penatalaksanaan
Stadium I (0-10 menit)
·         memperbaiki fungsi kardio dan respirasi
·         memperbaiki jalan nafas, oksigenasi dan resusitasi bilama diperlukan
Stadium II (1-60 menit)
·         pemeriksaan status neurologik
·         pengukuran tekanan darah, nadi dan suhu
·         pemeriksaan EKG
·         pasang infus
·         ambil 50-100cc darah untuk pemeriksaan laboratorium
·         pemberian OAE cito : diazepam 10-20 mg iv (kecepatan pemberian <2-5 mg/menit atau rektal dapat diulang 15 menit kemudian)
·         Beri 50cc glukosa 50% dengan atau tanpa thiamin 250 mg
·         Menangani asidosis dengan bikarbonat
Stadium III (0-60/90 menit)
·         menentukan etiologi
·         bila kejang terus berlangsung setelah pemberian lorazepam/diazepam, beri phenitoin IV 15-20mg/kg dengan kecepatan kurang lebih 50mg/menit sambil monitoring tekanan darah.
·         Atau dapat pula diberikan Phenobarbital 10mg/kg dengan kecepatan kurang lebih 10mg/menit (monitoring pernafasan saat pemberian)
·         Terapi vasopresor (dopamin) bila diperlukan.
·         Mengoreksi komplikasi
Stadium IV (30-90 menit)
·         Bila selama 30-60 menit masih kejang, pindah ke ICU
·         Beri propofol (2mg/kgBB bolus iv, diulang bila perlu)
Tabel 5. Penanganan status epileptikus konvulsivus
Dari: Kustiowati E. Consensus epilepsy.h.17.

Dikatakan SE refrakter jika pemberian 2-3 jenis obat gagal mengatasi bangkitan. Pasien dengan kejang yang rekuren, atau berlanjut selama lebih dari 60 menit. Walaupun dengan obat lini pertama pada 9-40 % kasus. Kejang berlanjut dengan alasan yang cukup banyak seperti, dosisnya di bawah kadar terapi, hipoglikemia rekuren, atau hipokalsemia persisten. Kesalahan diagnosis kemungkinan lain-tremor, rigor dan serangan psikogenik dapat meniru kejang epileptik. Mortalitas pada status epileptikus refrakter sangat tinggi dibandingkan dengan yang berespon terhadap terapi lini pertama.
Dalam mengatasi status epileptikus refrakter, beberapa ahli menyarankan menggunakan Valproat atau Phenobarbitone secara intravena. Sementara yang lain akan memberikan medikasi dengan kandungan anestetik seperti Midazolam, Propofol, atau Tiofenton. Penggunaan ini dimonitor oleg EEG, dan jika tidak ada kativitas kejang, maka dapat ditapering. Dan jika berlanjut akan diulang dengan dosis awal.1,2,6

Prognosis
Prognosis umumnya baik, 70 – 80% pasien yang mengalami epilepsi akan sembuh, dan kurang lebih separuh pasien akan bisa lepas obat. Dua puluh sampai tiga puluh persen mungkin akan berkembang menjadi epilepsi kronis dan pengobatan semakin sulit. Lima persen di antaranya akan tergantung pada orang lain dalam kehidupan sehari-hari. Prognosis buruk pada pasien dengan lebih dari satu jenis epilepsi, mengalami retardasi mental, dan gangguan psikiatri dan neurologic. Penderita epilepsi memiliki tingkat kematian yg lebih tinggi daripada populasi umum. Serangan epilepsi primer, baik yang bersifat kejang umum maupun serangan lena atau melamun atau absence mempunyai prognosis terbaik. Sebaliknya epilepsi yang serangan pertamanya mulai pada usia 3 tahun atau yang disertai kelainan neurologik dan atau retardasi mental mempunyai prognosis relatif jelek.3

Daftar Pustaka
1.      Kustiowati E. Consensus epilepsy. Jakarta: PERDOSSI; 2006.
2.      Harsono, Kustiowati E, Gunadharma S. Pedoman tatalaksana epilepsi. Cetakan Keempat. Jakarta: PERDOSSI; 2012.
3.      Harsono. Kapita selekta neurologi. Cetakan Ketujuh. Jakarta: Gadjah Mada University Press; 2009.
4.      Ginsberg L. Epilepsi. Dalam : Lecture Notes Neurology. Edisi kedelapan. Jakarta: Erlangga; 2008.
5.      Guberman A,  Bruni J. Essentials of clinical epilepsy. Second Edition. United States: Butterworth-Heinemann; 1999.
6.      Ginsberg L. Kedaruratan neurologis. Dalam : Lecture Notes Neurology. Edisi kedelapan. Jakarta: Erlangga; 2008.
7.      Mardjono M, Priguna S. Neurologi Klinis Dasar. Cetakan ke-15. Jakarta : Dian Rakyat; 2012.
8.      Purba CS. Epilepsi: permasalahan di reseptor atau neurotransmiter. Dalam: Medicinus. Volume 21. Desember 2008. Diunduh dari http://www.dexa-medica.com/images/publication_upload090109170636001231472906MEDICINUS_NOV_DES%2708.pdf; 25 Januari 2013.
9. Patofisiologi Epilepsi. 7 Agustus 2012. Diunduh dari http://blogkesehatan.net/patofisiologi-epilepsi-2/; 25 Januari 2013.